Rabu, 30 Juli 2008

Memaknai Hari Kebangkitan Nasional

SETIAP tanggal 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sejarah kita mencatat tokoh intelektual lokal pada masa itu, yakni dr. Wahidin Sudirohusodo, alumni Sekolah Dokter Jawa (STOVIA), memprakarsai pembentukan sebuah organisasi modern yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Pada 20 Mei 1908, dia mengumpulkan para murid dari STOVIA, OSVIA, Sekolah Guru, Sekolah Pertanian, dan Sekolah Kedokteran Hewan di Jakarta, yang melahirkan Budi Utomo.
Dalam perjalanannya, Budi Utomo memang tidak lebih dari organisasi para priyayi Jawa dan kurang berperan dalam kancah politik maupun perjuangan kemerdekaan. Namun, gagasan mengenai perlunya membangun kesadaran berbangsa melalui pendidikan dan kebudayaan adalah terobosan pemikiran pada masa itu.
Semangat inilah yang terus berusaha dikumandangkan oleh para founding fathers republik dan para penerusnya demi menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Kini, yang menjadi pertanyaan kita: dalam situasi bangsa yang seperti sekarang ini, ketika arus disintegrasi menguat dan segala urusan senantiasa diwarnai nuansa SARA, masihkah makna Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2008 relevan? :t
Jujur saja, mungkin banyak di antara kita yang ragu menjawab bahwa nilai-nilai itu masih relevan, apalagi melihat fakta bahwa apa yang terjadi di lapangan sangat berbeda antara bumi dan langit dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan. Terutama di tengah-tengah situasi di mana kualitas hidup yang dijalani sebagian besar rakyat Indonesia semakin menurun, sementara sebagian lainnya makin makmur dan sejahtera. Kesenjangan itu sangat nyata, bukan saja antar masyarakat, tetapi juga antar daerah.
Artinya, bila pertanyaan mengenai relevansi Kebangkitan Nasional itu menguat, berarti juga merepresentasikan situasi di alam bawah sadar maupun alam sadar kita apakah masih relevan kita hidup bersama-sama sebagai satu bangsa, satu negara yang bernama Republik Indonesia? :t
Itulah pertanyaan besar dan sangat mendasar. Dan hal itu tidak bisa dijawab hanya melalui kegiatan-kegiatan yang digalang oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam rangka Harkitnas 2007 ini. Kegiatan-kegiatan seremonial seperti itu tak lebih dari sekadar upaya mengingatkan bahwa 99 tahun lalu ada pergerakan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat (di Jawa) mengenai sebuah nation, sebuah bangsa.
Kita setuju bahwa rasa persatuan dan kesatuan sebagai sesama bangsa Indonesia adalah aset, potensi, dan kekuatan yang dibutuhkan dalam menjaga keutuhan Republik Indonesia, dan dalam menghadapi berbagai krisis yang masih mencengkeram sampai saat ini. Namun bagaimana mewujudkan itu dalam kenyataan? :t
Tahun depan sudah dicanangkan akan diperingati sebagai satu abad (100 tahun) Hari Kebangkitan Nasional, mungkin peristiwa itu akan diramaikan dengan berbagai kegiatan dan seremoni yang meriah. Namun, berbagai kegiatan itu juga tidak akan mampu menjawab pertanyaan: apakah insentif dan keuntungan kita menjadi satu bangsa yang bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia? :t
Pertanyaan seperti itu sangat dirasakan oleh saudara-saudara kita yang tinggal di pulau-pulau lain di luar Jawa, sebab banyak di antara mereka yang tidak tersentuh oleh pembangunan. Di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Filipina atau Singapura, lebih menguntungkan berhubungan langsung dengan para tetangga itu ketimbang dengan Jakarta, yang memang lebih jauh jaraknya.
Sampai hari ini, kita harus mengakui bahwa pembangunan masih berorientasi di dan ke Jawa, yang memang harus diakui pula sebagai pulau yang paling padat penduduknya. Namun kenyataan itu tidak boleh membuat pemerintah kemudian mengabaikan pembangunan di wilayah-wilayah lain di luar Jawa.
Lebih konkret lagi, pemerintah harus memberikan insentif kepada wilayah-wilayah lain itu untuk menunjukkan bahwa tergabung dalam Republik Indonesia memang menguntungkan, mensejahterakan, memberi keadilan, memberi rasa damai dan tenteram dst.
Menurut hemat kita, harus ada upaya-upaya khusus untuk pembangunan lebih banyak pelabuhan, membangun armada kapal nasional yang besar, memperbaiki dan memperbanyak bandar-bandar udara, memperbaiki dan membangun jalan-jalan, sekolah, rumah sakit dll. di wilayah-wilayah luar Jawa. Pembangunan infrastruktur dasar seperti itu akan menyadarkan rakyat bahwa memang ada manfaat dan insentif menjadi bangsa Indonesia.
Masalahnya adalah tayangan kelakuan para pemimpin di aras nasional yang cenderung memperlihatkan mereka hanya cari kekayaan sendiri atau cari selamat sendiri (terbukti dari banyaknya kasus-kasus korupsi yang tidak semakin surut). Hal-hal seperti itu sama sekali tidak mendukung upaya membangun sebuah semangat kebangsaan.
Dalam keterbatasannya, dr Wahidin dan kawan-kawannya telah membawa terobosan sejarah. Saat ini, sesungguhnya kita juga membutuhkan seorang pemimpin yang berani melangkah maju menuju era Kebangkitan Nasional Kedua, seorang pemimpin yang punya visi membawa lompatan kemajuan besar bagi bangsanya, seperti pernah dan telah dialami tetangga-tetangga dekat kita. Tetapi tampaknya kita memang masih berada di taraf Baru Bisa Mimpi, seperti tayangan acara di televisi. n

Tidak ada komentar: